Pengalaman Pelaporan Tindak Kejahatan Seksual di PPA-Polres

Berikut merupakan pengalaman dari seorang “pendukung” salah satu korban kekerasan seksual dalam memberi kesaksian di unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) – Kepolisian Resort di salah satu daerah di Jawa Timur. Semoga menjadi sumbangan bagi gerakan perlawanan terhadap kekerasan seksual.

Kekerasan seksual merupakan sebuah kejahatan besar apapun legitimasinya. Inilah prinsip yang aku pegang sampai sekarang sejak aku mendengar teman-teman sekelasku di pondok pesantren menjadi korban kekerasan seksual oleh pemimpinnya.

Sejak lulus Sekolah Dasar selama satu dekade lebih aku mengenyam pendidikan di sebuah pondok pesantren besar di salah satu daerah Jawa Timur. Di akhir masa pendidikanku, aku menjadi saksi atas pengakuan salah seorang perempuan teman sekelasku yang menjadi korban pelecehan seksual oleh putra dari pengasuh pondok pesantren tersebut yang terjadi 2-3 yang lalu. Dan dalam waktu yang dekat, adik kelasku menjadi saksi dari pengakuan temannya yang menjadi korban perkosaan oleh pelaku yang sama. Sejak itu kekecewaan melanda hebat dan berubah menjadi kemarahan besar yang tak terkontrol.

Setahun sejak peristiwa itu terjadi, barulah aku beserta para pendamping korban mendapat kesempatan melaporkan tindakan kejahatan ini kepada lembaga negara, dengan difasilitasi oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) – Bareskrim Polres setempat. Mirisnya, dari 7-8 perempuan yang kuketahui menjadi korban tindak kejahatan seksual, hanya satu korban saja yang berkeinginan kuat untuk melapor. Menurutku keengganan para korban untuk berani menuntut keadilan bagi dirinya adalah hasil manuver represi setahun terakhir oleh keluarga besar pondok pesantren (pondok pesantren ini sudah bertaraf nasional dengan umat jutaan orang) dengan berbagai cara dari legitimasinya atas kejahatan ini dengan dalih agama dan moral sampai penyebaran fitnah, ujaran kebencian hingga teror secara fisik dan psikis.

Bisa dikatakan pelaporan ini merupakan hal yang terlambat. Banyak faktor yang mempengaruhinya terutama kurangnya pengetahuan tentang “jalan untuk melapor” hingga alasan strategis. Kami sebagai anak pondok pesantren tidak pernah mendapat bekal untuk menghadapi tindak kejahatan seksual sebelumnya. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya, tidak pernah ada orang yang memberitahu.

Teknis pelaporannya sendiri berupa pemberian kesaksian yang akan diterima oleh pihak PPA. Dalam kasus ini sendiri membutuhkan dua hari untuk pelaporan. Hari pertama untuk pelaporan korban yang membutuhkan sekitar 10-11 jam. Sedangkan hari kedua untuk para saksi. Ada dua saksi di sini, aku pribadi dan seorang teman korban.

Teknis yang ditanyakan oleh penyidik seperti hubunganku dengan korban, apakah aku mendengar secara langsung pengakuan korban, dsb. Karena kasus korban yang ini cukup lama terjadi hingga 2-3 tahun, sehingga membuat banyak sekali pengakuan korban kepadaku yang terlupa, sehingga diperlukan kesegeraan untuk membuat pelaporan kepada penyidik. Lalu dokumentasi terhadap pengakuan korban kekerasan dari tangan pertama juga perlu, hal ini bisa berupa rekaman, dsb.

Hasil kesaksianku pada hari itu dinilai lemah, hal ini dikarenakan aku pribadi bukan pihak pertama yang mendengar langsung pengakuan korban. Aku mengambil kesimpulan keperluan untuk kesaksian yang kuat ini sangat diperlukan. Pada hari itu, meskipun kesaksianku dinilai lemah, pihak Polres melanjutkan penyidikan dengan agenda pemanggilan pelaku.

Peran saksi tidak hanya berhenti di sini, namun dari arahan Polres, para saksi ini akan memberi kesaksian pada saat pengadilan. Karena ketidaktahuan akan proses hukum negara seperti apa, maka aku berinisiatif untuk mencari informasi soal ini. Kesimpulanku bahwa proses hukum negara memakan waktu, karena pihak penyidik Polres akan melimpahkan berkas penyidikan ke kejaksaan setelah penyidik dari Polres melengkapi berkasnya. Lalu setelah dinilai oleh pihak kejaksaan berkas telah lengkap maka mereka melimpahkannya kepada pengadilan. Sebaliknya, bila berkas dinyatakan belum lengkap maka akan dikembalikan ke Polres. Begitu juga peran pengadilan yang menilai kelengkapan berkas tersebut sebelum melanjutkannya ke proses pengadilan.

Pada akhirnya kasus ini gagal untuk dilanjutkan dalam proses hukum selanjutnya, karena manuver intimidasi dari keluarga besar pelaku berhasil membuat korban untuk mencabut laporannya. Meskipun konon bahwa tindak kejahatan pemerkosaan bisa diteruskan ke pengadilan meskipun korban telah mencabut laporannya, belum ada kabar kasus ini dilanjutkan.

Aku memaklumi posisi korban sebagai perempuan yang keterbatasan geraknya berlapis-lapis. Ia mengaku padaku bahwa ia sebenarnya ingin melanjutkan proses hukum, namun ia tak sanggup mengorbankan sesuatu lagi seperti rumah tangga (ia sudah menikah), ekonomi dan hubungan dengan keluarga. Kekecewaanku hanya pada taraf keberanian dan pengorbanan dalam menanggung resiko beberapa pihak sangat berbeda. Karena aku pikir faktor utama dalam memperoleh pembebasan adalah keberanian dan pengorbanan terhadap apapun yang menghalangi di depan, karena dukungan dari para pendamping, mulai dari Polres, pengacara hingga LSM tak lebih penting dari keberanian dan pengorbanan dari korban itu sendiri. Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam.