Jugun Ianfu adalah Wajah Asli Fasisme

“Kalau saya tidak berani menelanjangi diri di dunia internasional menangani jugun ianfu, maka selamanya jugun ianfu tidak akan mendapatkan keadilan. Saya sudah capek dicemooh. Saya ingin semua orang terutama generasi muda tahu seluruhnya. Tidak hanya sepotong-potong; agar mereka tahu dan mengerti bahwa menjadi jugun ianfu bukan mau kami dan bahwa kami bukan pelacur,”  -Mardiyem-

Hari ini tepat tanggal 4 Desember 2001, Pengadilan Internasional Kejahatan Perang terhadap Perempuan (Women’s International War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery) atau biasa disebut Tokyo Tribunal mengeluarkan keputusan finalnya di Den Haag, setelah setahun sebelumnya dihelat di Tokyo pada 8-12 Desember 2000.

Para korban dari perbudakan seksual oleh militer Jepang ini sering disebut sebagai Jugun Ianfu (comfort women). Jugun Ianfu adalah perbudakan seksual sistematis yang dilakukan oleh pemerintah fasis Jepang kepada perempuan untuk memenuhi kebutuhan seksual para prajurit militer mereka. Awalnya hal tersebut adalah sebuah program dari pemerintah Jepang untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin diantara prajurit Jepang dan mencegah kejadian pemerkosaan dan pembunuhan massal oleh para prajurit terhadap penduduk lokal yang terjadi sebelumnya di Nanking (1934).

Konon rencana awalnya pemerintah Jepang hanya merekrut pekerja seks yang berasal dari Jepang, namun pada praktek selanjutnya seiring dengan ekspansi penjajahan Jepang yang meluas, mereka merekrut para perempuan lokal dengan cara sistematis memaksa, diculik dari rumah mereka maupun ditipu dengan iming-iming tertentu. Jumlah korban perbudakan seksual ini masih diperdebatkan, namun diperkirakan jumlahnya 360.000 – 410.000 perempuan yang berasal dari Jepang, Korea, Tiongkok, Birma (Myanmar), Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya (Malaysia), Taiwan, Hindia Belanda (Indonesia), Timor Portugis (Timor Leste), dan perempuan dari wilayah penjajahan Jepang lainnya. Juga terdapat sejumlah kecil perempuan Eropa (Belanda dan Australia) yang berjumlah sekitar 200-400 perempuan.

Menurut kami, perbudakan seksual adalah wajah asli dari fasisme. Dan fasisme sendiri adalah bentuk paling ekstrim dari patriarki. For Mujeres berbagi keyakinan bersama rekan-rekan yang berada dalam gerakan menolak fasisme dalam segala rupa dan nama.

Untuk memperingati Women’s International War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery, For Mujeres membagikan tulisan dari Jurnal Perempuan tentang sosok (Almh.) Mardiyem, seorang penyintas Jugun Ianfu asal Jogja yang vokal terhadap perbudakan seksual yang dialaminya. Kami juga merekomendasikan artikel Wikipedia berbahasa Inggris, Comfort Women, yang cukup  lengkap memberikan informasi soal Jugun Ianfu (tetapi kami harus memberi peringatan sebelumnya karena konten yang eksplisit); juga dokumen terjemahan dari keputusan final Tokyo Tribunal yang diterbitkan oleh Komnas HAM pada tahun 2013; hasil wawancara Asian Boss bersama seorang penyintas Jugun Ianfu yang berasal dari Korea Selatan; juga film Korea Selatan, The Battleship Island (2017).

Ada 2 buku kunci dengan bahasa Indonesia mengenai Jugun Ianfu: (1) Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer oleh Pramoedya Ananta Toer tentang para perempuan penyintas Jugun Ianfu yang terlupakan tidak sengaja bertemu dengan tahanan politik Peristiwa 1965 di pulau Buru (Maluku); dan (2) Momoye, Mereka Memanggilku yang ditulis oleh Eka Hindra merupakan memoar dari ibu Mardiyem.

  1. (Almh.) Mardiyem (Momoye): Keadilan Untuk Jugun Ianfu | Jurnal Perempuan https://www.jurnalperempuan.org/tokoh-feminis/almh-mardiyem-momoye-keadilan-untuk-jugun-ianfu
  2. Comfort Women | Wikipedia berbahasa Inggris https://en.m.wikipedia.org/wiki/Comfort_women
  3. Pengadilan Kejahatan Perang Internasional | Komnas HAM https://www.komnasham.go.id/files/20131119-pengadian-kejahatan-perang-internasional-$GDK.pdf
  4. Life As A “Comfort Woman”: Story of Kim Bok-Dong | ASIAN BOSS https://m.youtube.com/watch?v=qsT97ax_Xb0
  5. Jugun Ianfu – Sejarah yang Terlupakan https://www.youtube.com/watch?v=ZX3JBpjktGY