Sulitnya Membicarakan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (Kespro)

Berbicara tentang Seksualitas dan Kespro secara terbuka, tidak semudah membicarakan tentang laut, langit, dan senja. Masih adanya stigma yang kuat dan berlapis di dalam masyarakat kita, sehingga ada anggapan tabu untuk mendiskusikan hal tersebut. Belum lagi adanya ancaman kriminalisasi oleh negara karena membicarakan soal ini, juga tuduhan-tuduhan miring dari pejabat publik terhadap orang-orang yang membicarakannya. Sungguh berat ya.

Mengutip Carolina (2018), akibat dari “larangan tak kasat mata” ini tentunya bermacam-macam, mulai dari kelahiran anak yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan, melakukan tindakan aborsi yang membahayakan (tidak aman), angka kematian perempuan hamil yang meningkat, angka kekerasan seksual yang meningkat, sampai yang terakhir kasus kriminalisasi terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi[1]. Mengerikan, bukan?

Karena anak-anak For Mujeres berlatarbelakang dari lingkungan pondok pesantren maka membicarakan seksualitas dan kesehatan produksi itu jadi hal yang diharamkan, bahkan di tempat kami mengenyam pendidikan ada peraturan ketat mengenai seksualitas. Meskipun ada salah seorang ulama muslim yang menulis sebuah kitab tentang seksualitas[2], kami pikir tidak semua pondok pesantren mempelajari dan memasukkannya dalam kurikulum pengajaran.

Padahal dengan adanya Pendidikan Seksual dan Kespro terutama akses layanan dan informasi terhadap alat pencegahan kehamilan, kasus-kasus tersebut di atas akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali, kasus-kasus kekerasan seksual juga dapat dicegah. Karena dengan diberikannya akses layanan dan informasi terhadap alat pencegah kehamilan maka otomatis timbul keinginan untuk mengakses informasi lainnya soal seksualitas dan kespro.

Kami juga menemukan kasus unik di lingkungan pondok pesantren seperti kehamilan yang tidak diinginkan. Ada salah seorang teman perempuan kami yang tidak menyadari ia hamil hingga ia mengalami keguguran. Untungnya kawan terdekatnya memiliki saudara seorang praktisi kesehatan yang langsung memberikan saran-saran medis agar keguguran yang dialaminya tidak. Namun ketika ia pergi memeriksakan diri ke lembaga kesehatan reproduksi, ia mendapat cibiran karena citra seorang santriwati suci yang melakukan seks pra-nikah. Dan ironisnya cibiran tersebut berasal dari tenaga medis professional. Keguguran ini juga berdampak pada pendidikannya. Meskipun kabar tentang kegugurannya tak sampai dicium oleh kepengurusan pondok pesantren karena ia dan rekan-rekannya berusaha menutupnya rapat-rapat, namun ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya.

Bila teman perempuan kami ini pada waktu sebelum ia memutuskan untuk berhubungan seksual mendapat layanan dan informasi soal alat pencegah kehamilan, makai ia tak perlu lagi kebingungan menghadapi kehamilan yang berujung keguguran, atau menghadapi tuduhan-tuduhan miring dari masyarakat. Misalnya ia bisa memaksa pacarnya untuk memakai kondom untuk mencegah sperma masuk ke dalam rahim, atau bila merasa sperma masuk ke rahim bisa langsung meminum pil postinor setelah berhubungan seks. Tapi alat pencegah kehamilan atau kontrasepsi (atau di Indonesia lebih umum disebut KB) sangat bermacam-macam bentuknya dan cara pemakaiannya. Dengan edukasi soal seksualitas dan kespro seperti ini maka kelahiran-kelahiran yang tak diinginkan maupun yang tak direncanakan bisa dicegah, dan semua orang bisa melanjutkan hidupnya atau mengejar mimpi-mimpinya.

Adanya cibiran maupun larangan terhadap hal-hal yang menyangkut seksualitas dan kespro tidak akan menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Bahkan mereka yang dilarang untuk mendapat edukasi tentang seksualitas dan kespro malah mendapat pendidikan yang salah soal seksualitas dan kespro, bahkan cenderung melakukan kegiatan seksual yang beresiko, seperti yang terjadi pada kasus teman perempuan kami. Dan kami di For Mujeres yakin persoalan ini tidak hanya dialami oleh teman perempuan kami tapi juga seluruh remaja di Indonesia. Maka dari itu mari kita buka seluas-luasnya akses untuk layanan dan informasi soal seksualitas dan kespro.[3]

Catatan

  1. Riska Carolina, RKUHP Hambat Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi https://pkbi.or.id/rkuhp-hambat-edukasi-kesehatan-seksual-dan-reproduksi
  2. Kitab Qurratul Uyun adalah kitab susunan Syekh Imam Abu Muhammad. Kitab ini sendiri perlu dikritisi lebih dalam terlebih soal keadilan gender.
  3. Ngomong-ngomong tulisan ini belum membicarakan kebutuhan untuk menggratiskan layanan dan onformasi soal seksualitas dan kespro. Apalagi tantangannya sekarang adalah adanya upaya-upaya untuk mengkriminalisasi orang-orang yang berbicara soal seksualitas dan kespro secara terbuka.