Ketika Pondok Pesantren Menjadi Sarang Pelaku Kekerasan Seksual


“…Sejujurnya aku masih tetap ingin maju. Hatiku menolak ikut kemauan orang-orang ini…”

Begitu bunyi pesan teks yang saya terima pada suatu malam. Pesan ini dikirimkan oleh seorang perempuan, kita sebut saja ia dengan Bulan (25). Waktu itu ia berusaha meminta maaf kepada kawan-kawannya yang selama ini mendorong, mendukung dan menemaninya untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya saat masih mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur.

Bulan adalah satu diantara puluhan korban perlakuan bejat salah satu petinggi pesantren tempatnya mengenyam pendidikan. Modusnya, Bulan dipacari terlebih dahulu oleh pria ini (yang umurnya terpaut lebih dari dua puluh tahun lebih tua) lalu dimanipulasi sehingga mau berhubungan seksual. Saat mulai menjalin hubungan ini, Bulan masih duduk di bangku (setara) SMA.

Tak hanya itu, ia juga menerima perlakuan abusive oleh petinggi pesantren ini selama berpacaran. Beberapa kali ia dipukuli terutama di wajah sampai memar. Dan menjelang hubungannya berakhir, ia diculik dan disekap selama 24 jam di sebuah rumah kosong di tengah hutan.

Selama bertahun-tahun, kelakuan bejat ini berhasil ditutupi. Faktor utamanya karena pria bejat ini memiliki kekayaan materi dan status istimewa di lingkungan pesantren. Namun akhirnya terbongkar setelah salah satu korban mengaku hingga pengakuannya terdengar di seluruh lingkup pesantren. Akibatnya, korban-korban lain memunculkan suaranya meskipun pada akhirnya tidak meneruskan ke proses hukum karena berbagai sebab.

Hanya Bulan satu-satunya penyintas yang bertekad untuk meneruskan hal ini ke jalur hukum. Namun pada akhirnya Bulan menyerah di tengah jalan setelah ditekan sana-sini oleh banyak orang yang berada di barisan pelaku perkosaan. Begitulah hingga ia mengirim pesan permintaan maafnya.

Fenomena kekerasan seksual di lingkungan pesantren layaknya gunung es. Di Jawa Tengah, sepanjang 2009 sampai 2012 sebanyak 85 perempuan dan anak menjadi korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren. Hasil riset Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah ini menemukan tujuh macam kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok berupa sodomi, perkawinan paksa, pelecehan seksual, dan perkosaan[1].

Diperkirakan jumlah kasus dan korban kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren bisa terus bertambah. Sering kali kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan pondok pesantren dan lembaga pendidikan non-formal berbasis agama tak terungkap. Sebab, biasanya korban takut melapor. Pengelola pondok pesantren kadang menggunakan dalil agama sebagai legitimasi melakukan tindak kekerasan seksual.

Agama dipakai sebagai modus untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Dengan kedok agama atau pondok pesantren, pelaku bisa bebas melakukan kekerasan seksual karena dianggap aman dan nyaman.

Karakter feodalisme yang mengakar kuat dalam tradisi pesantren juga turut menyumbang keberlangsungan praktik kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Jika dianalogikan, pondok pesantren ibarat sebuah kerajaan, yang dikelilingi tembok tebal, didalamnya berisi santri-santri yang berperan sebagai punggawa kerajaan, dan mensyaratkan ketundukan, kepatuhan, ketaatan tanpa reserve kepada para kyai, keluarga kyai (shohibul bait), ustadz-ustadzah, pengurus-pengurus keamanan (polisi pesantren), dan guru-guru di kalangan pendidikan pesantren (jika pesantren memiliki sekolah formal)[2].

Karakter feodalisme yang dimiliki pesantren tidak memungkinkan negara maupun institusi demokrasi manapun melakukan intervensi di dalam pesantren. Feodalisme di pesantren juga diperkuat dengan produksi dan reproduksi pengetahuan yang berperan langsung dalam pola pikir masyarakat di dalamnya. Akibatnya, masyarakat menganggap normal kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan oleh kelas feodal, yaitu para kyai dan jajarannya yang tersebut di atas. Perempuan, atau santriwati, adalah pihak yang paling rentan dari segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan ini.

Perjuangan untuk membangun kebebasan dan kesetaraan haruslah menjadi program penting bagi organisasi perempuan seperti For Mujeres selain perjuangan untuk menghapuskan praktik kekerasan seksual di pesantren. Namun persoalan-persoalan tentang taktik dan strategi perlu dipikirkan secara bersama. Misalnya, apakah perlu untuk membangun sebuah gerakan yang mendorong negara sebagai institusi demokrasi untuk mengintervensi pesantren? Atau menyerahkan nasib pada perempuan itu sendiri untuk membangun gerakan otonom yang berbasis massa untuk menekan reformasi pada pesantren? Atau melakukan keduanya? Atau apakah diperlukan membangun aliansi terhadap gerakan perempuan lain guna membangun kekuatan bersama mewujudkan kebebasan dan kesetaraan.[]

Catatan

[1] Puluhan Santri Perempuan Jadi Korban Kekerasan Seksual | IRCP-online http://icrp-online.com/2012/03/09/puluhan-santri-perempuan-jadi-korban-kekerasan-seksual/

[2] Roziqi, Misbahur (2010). Pesantren: Sarang Feodalisme. Diambil dari http://roziqiganteng.blogspot.com/2010/12/pesantren-sarang-feodalisme.html?m=1